STUDI KASUS PHK PADA PT. SECURICOR
Berawal pada tanggal 19 juli 2004
lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor International di
tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international,
maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja
Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk
membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional
tersebut. Akan tetapi, pertemuan
tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang
semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT
Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES
telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja
Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan
adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch
manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini
mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga
tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun
1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi
(P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada
PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut
dengan ketidakjelasan status
mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal
pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada
tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari mulai
adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat
Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny
Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan
tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans
DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan
dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta dari P4P
1.
Agar
pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja
Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT.
Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;
2.
Agar
pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada
pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
3.
Agar
pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja
kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari
sejak diterimanya surat anjuran ini;
Akan tetapi pihak perusahaan tidak
menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding ke PT. TUN
Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza
Syarief, S.H., M.H. memberikan
kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali
bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para
pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap
mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya
rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa
para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan
kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat
secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan
menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi.
Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta
pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK
massal dan ternyata perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo
yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:
Dasar Tuntutan
1.
Bahwa
pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal
maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali
sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
2.
Bahwa
Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat
(1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin
kepada P4 Pusat
3.
Bahwa
para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta
dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan kasus ini telah melewati
proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni
2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai
Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan
telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan
penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui
kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut
telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi,
dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan,
kebenaran dan kejujuran yang sejati.
1.
Penyebab
Perusahaan Melakukan PHK
Kasus PHK PT Securicor berawal
karena ketidak jelasan status para pekerja akibat adanya merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong karyawan PT.
Securicor untuk melakukan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang
terkait sebagai akibat dari
gagalnya perundingan tentang merger (deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah bekerja puluhan
tahun dan menggantungkan nasibnya pada PT.Securicor pada akhirnya menjadi korban pemutusan hubungan
kerja (PHK). Padahal dalam kenyataan, yang juga telah ditemukan pada fakta P4P,
PHK yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak memenuhi outcomes fairness dimana
adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas penilaiannya hasil
kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan tidak adanya
kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan karyawan lain,
terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai
ratusan karyawan (238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi
kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih
tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan
demikian, PHK yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak.
Jika kita telusuri lebih dalam,
kasus di atas membuktikan adanya ketidak mampuan manajemen perusahaan dalam
melakukan pengelolaan sumber daya manusianya. Sebelum melakukan PHK, perusahaan
seharusnya telah melakukan proses penilaian dengan berpatok pada prinsip procedural justice, dimana
dengan metode apapun dilakukan penilaian, nantinya akan meghasilkan sebuah
keputusan yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor di atas jelas
belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik.
Ketika tahapan lewat meja hijau dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK
tersebut, PT Securicor member kejelasan
bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan
alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri
menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri.
Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena
selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali
tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum
perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis
untuk minta di PHK. Di sini sangat terlihat tidak adanya procedural justice sebagai prosedur yang menjunjung
keadilan.
Selanjutnya, masalah PHK ini
kemudian juga menyentuh dimensi interactional justice. Hal tersebut terbukti dari adanya
penolakan besar-besaran lewat unjuk rasa yang dilakukan oleh karyawan PT.
Securicor. Karyawan berada dalam
ketidakjelasan status, di mana tidak ada penjelasan yang dinilai adil terkait
PHK yang Explanation. Mengembangkan aspek dari kejujuran
prosedural yang menjustifikasi keputusan dijalankan perusahaan. Selain itu,
perusahaan juga dinilai karyawan tidak menjunjung social sensitivity akibat adanya PHK tersebut, yang
nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (consideration) sebelum
pengambilan keputusan terjadi. Manajemen perusahaan juga mengesampingkan empathy terhadap karyawannya yang dalam hal
ini telah melakukan pengabdian pada perusahaan selama puluhan tahun.
2.
Reaksi
Positif dari Karywan
Para karyawan yang berada dalam ketidakjelasan
status mereka, dimana tidak ada penjelasaan dari perusahaan terkait PHK memang
telah melakukan demo dan membawanya kejalur hukum, tetapi karyawan tidak
melakukan kekerasan dalam melakukannya. Sebenarnya, karyawan hanya membutuhkan
kejelasan akan status mereka serta kejujuran dari perusahaan. Apabila mereka
harus di PHK maka perusahaan harus membayar pesangon kepada karyawan sesuai
dengan keetapan yang ada.
3.
Reaksi
Negatif dari Karywan
Reaksi negatif dari karyawan sudah pasti
terjadi. Karyawan melakukan mogong kerja dan demo serta membawa kasus ini ke
jalur hukum karena tidak jelasnya status yang mereka miliki. Pada awalnya PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan
pekerjaan seiring berjalannya waktu sebanyak 238 karyawan yang kehilangan
pekerjaan. Karena Persoalan ini terus
bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia
dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan
diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock,
sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan
kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja
dalam putusannya dimenangkan.
4.
Analisa
perhitungan untung rugi perusahaan, apakah lebih baik melakukan PHK atau tidak.
Dari studi kasus di atas, dapat
kita analisa bahwa jika di lihat dari sisi perusahaan, yang tidak memberikan
kejelasan status kepada karyawan dan PHK
yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak memenuhi outcomes fairness dimana
adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas penilaiannya hasil
kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan tidak adanya
kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan karyawan lain,
terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai
ratusan karyawan (238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi
kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih
tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan
demikian, PHK yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak. Ini menyebabkan
Perusahaan harus membayar pesangon kepada karywan yang telah di PHK secara
sepihak tersebut, karena perusahaan kalah banding sehingga harus memenuhi
beberapa syarat tuntutan.
Jika perusahaan benar melakukan mager dengan perusahaan lain,
maka di harapkan tingkat produksi akan meningkat sehingga dpat meningkatkan
pendapatan serta pemasukan dari biaya yang di keluarkan untuk membayar pesangon
karyawan. Dan apabila perusahaan tetap mempekerjakan karyawan maka perusahaan
tidak perlu untuk menutup pengeluaran tersebut. Dengan banyaknya karyawan dapat
membantu perusahaan untuk meningkatkan produksinya sehingga pendapatan yang
didapatkan akan lebih besar.
Sumber :
http://muhamadyasin10.blogspot.co.id/2016/01/contoh-kasus-phk.html?m=1
Casino Online Sports Betting - JT Hub
BalasHapusOnline Sports Betting brings you the best 순천 출장샵 in online sports betting providing 순천 출장마사지 latest and best 서귀포 출장마사지 odds on 세종특별자치 출장샵 all major sports including soccer, basketball, Rating: 5 · 6 태백 출장안마 reviews